Legal Due Diligence (LDD) di Indonesia: Kerangka, Metodologi, dan Praktik Terbaik
Panduan profesional Legal due diligence (LDD) di Indonesia: tujuan, ruang lingkup, metodologi, red flag, implikasi kontraktual, dan rujukan regulasi utama.
Legal due diligence (LDD)

Legal due diligence (LDD) adalah pemeriksaan hukum menyeluruh terhadap perusahaan, aset, atau proyek untuk menilai kepatuhan, keabsahan hak, kewajiban, dan potensi liabilitas sebelum keputusan strategis diambil, misalnya merger dan akuisisi, pembiayaan, penawaran umum perdana, restrukturisasi, atau akuisisi aset.
Di Indonesia, Legal due diligence (LDD) yang baik tidak berhenti pada memeriksa dokumen; ia mengubah temuan menjadi rekomendasi yang dapat dieksekusi dalam struktur transaksi: kondisi pendahulu (conditions precedent), pernyataan dan jaminan (representations & warranties), penggantian kerugian (indemnity), hingga penyesuaian harga (escrow/holdback). Fondasinya adalah hukum positif yakni UUPT, rezim perizinan berbasis risiko melalui OSS RBA, ketenagakerjaan, lingkungan, pertanahan, pasar modal, persaingan usaha (merger control), perlindungan data pribadi, kepailitan, serta disiplin metodologis yang konsisten dari scoping sampai penyusunan rencana remediasi.
Legal due diligence (LDD) biasanya dimulai dari penetapan ruang lingkup. Pada tahap ini, tim menyepakati perimeter penelaahan: apakah transaksi berbentuk share deal atau asset deal, periode dokumen yang diperiksa, ambang materialitas, serta industri yang dilibatkan. Penetapan perimeter penting karena setiap jenis transaksi memunculkan risiko yang berbeda: share deal menuntut penekanan pada keberlanjutan izin dan kewajiban tersembunyi di tingkat entitas, sementara asset deal menuntut kejelasan pengalihan hak atas aset, beban, dan izin operasional yang melekat.
Setelah perimeter jelas, tim menurunkan daftar permintaan data (data room request list) yang lazim mencakup akta pendirian dan perubahan anggaran dasar, susunan pemegang saham, risalah RUPS, perizinan (NIB/KBLI dan izin sektor), kontrak material, pembiayaan dan jaminan, ketenagakerjaan, lingkungan, pertanahan dan bangunan, pajak, kekayaan intelektual, perlindungan data, serta daftar perkara. Secara paralel, dilakukan pemeriksaan ke otoritas dan basis data publik yang relevan seperti AHU untuk status badan hukum, OSS RBA untuk perizinan, DJKI untuk kekayaan intelektual, pengadilan (e-court) untuk perkara, bahkan KPPU dan OJK/BEI bila transaksi menyentuh merger control atau emiten.

Dari perspektif substansi, pilar pertama Legal due diligence (LDD) adalah legal existence dan tata kelola korporasi berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Tim memeriksa apakah pembentukan dan perubahan anggaran dasar telah disahkan, bagaimana komposisi dan hak pemegang saham, serta apakah kewenangan direksi dan komisaris sejalan dengan ketentuan anggaran dasar dan peraturan. Pilar kedua adalah kepatuhan perizinan berbasis risiko. Sejak berlakunya PP 5/2021, kesesuaian NIB dan KBLI dengan kegiatan usaha faktual menjadi krusial.
Kerap ditemukan ketidaksesuaian antara kegiatan aktual dan KBLI, atau izin operasional yang belum dimigrasikan ke OSS RBA yang mana kedua hal ini dapat menimbulkan risiko sanksi atau hambatan operasional. Pilar ketiga adalah kontrak material. Di sini, perhatian diarahkan pada klausul change of control, pembatasan pengalihan (anti-assignment), persyaratan persetujuan pihak ketiga, pembatasan tanggung jawab, penalti, serta klausul penghentian. Temuan di wilayah ini lazim diterjemahkan menjadi CP (misalnya memperoleh waiver dari kreditur atau pelanggan utama) atau covenant pasca-penutupan.
Aspek ketenagakerjaan merupakan pilar keempat. PP 35/2021 mempertegas tata kelola hubungan kerja, penggunaan PKWT dan alih daya, serta ketentuan kompensasi. Legal due diligence (LDD) menilai apakah struktur hubungan kerja sesuai ketentuan, apakah terdapat eksposur kewajiban akibat praktik kontraktual yang tidak comply, dan bagaimana implikasinya jika terjadi perubahan kendali. Pilar kelima adalah lingkungan hidup.
PP 22/2021 mewajibkan persetujuan lingkungan dan pengelolaan dokumen AMDAL/UKL-UPL yang mutakhir; kekosongan atau ketidakmutakhiran dokumen kerap menjadi red flag, terutama dalam sektor manufaktur, energi, dan pengolahan limbah. Pilar keenam adalah pertanahan dan aset tetap: jenis hak atas tanah (HGB/HGU/HP), status sertifikat, beban seperti hak tanggungan atau sita, serta persetujuan bangunan gedung dan kesesuaian tata ruang. Ketidakjelasan status hak atau ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan tata ruang bisa menggerus valuasi atau menunda eksekusi transaksi.
Di bidang pasar modal, bagi emiten atau perusahaan publik, Legal due diligence (LDD) harus menguji kewajiban keterbukaan dan rezim transaksi material sesuai POJK 17/2020. Di tingkat bursa, ketentuan free float minimum dan persyaratan pencatatan juga dapat mempengaruhi struktur atau waktu transaksi. Pada saat yang sama, Legal due diligence (LDD) harus mengkaji kewajiban merger control di bawah Peraturan KPPU No. 3/2019: apakah ambang batas aset atau penjualan terlampaui, apakah terdapat nexus Indonesia, serta apakah notifikasi wajib diajukan dalam tenggat yang ditentukan. Untuk transaksi lintas yurisdiksi, konsultasi pra-notifikasi sering dipakai guna memitigasi ketidakpastian penilaian dan menghindari sanksi administratif.
Dua pilar terakhir yang semakin penting adalah perpajakan dimana mencakup kepatuhan SPT, pemeriksaan atau sengketa berjalan, dan potensi kewajiban kontinjensi, serta perlindungan data pribadi. UU 27/2022 menuntut dasar pemrosesan yang sah, pengamanan teknis dan organisasi, perjanjian pemrosesan data dengan pihak ketiga, penilaian dampak bila perlu, serta prosedur pelaporan insiden. Di banyak sektor yang padat data pelanggan, ketidakpatuhan PDP dapat menjadi deal-breaker. LDD juga memetakan perkara perdata/pidana/TUN, proses PKPU atau pailit, dan potensi cross-default yang dapat memicu percepatan kewajiban.
Seluruh temuan kemudian disintesis ke dalam laporan. Praktik umum ialah menyajikan Red-Flag Report yang ringkas sebagai pegangan pengambil keputusan dimana di dalamnya menyoroti isu kritikal, dampak, dan pilihan mitigasi lalu diikuti Laporan Legal due diligence (LDD) lengkap yang memuat analisis per klaster dan tautan ke dokumen pendukung. Selain itu, tim menyusun Issues & Actions Tracker, yang memetakan kondisi pendahulu dan tindakan perbaikan pasca-penutupan, serta Disclosure Schedule yang menjadi lampiran perjanjian transaksi untuk mengkalibrasi ruang lingkup representations & warranties.
Pada titik ini, nilai tambah Legal due diligence (LDD) adalah mengalihkan temuan hukum ke desain kontraktual: memperpanjang izin atau memperbarui KBLI ditempatkan sebagai CP; risiko pajak atau lingkungan dialokasikan melalui escrow atau holdback; batas tanggung jawab, masa berlakunya reps & warranties, serta ambang kerugian (basket) dinegosiasikan untuk menyeimbangkan perlindungan dan kelancaran penutupan. Untuk emiten, keterikatan pada POJK 17/2020 dan ketentuan BEI tentang free float dan keterbukaan informasi menjadi bagian dari rencana kerja, sedangkan untuk transaksi yang tunduk merger control, penyusunan berkas notifikasi dan strategi komunikasi dengan KPPU menjadi kanal mitigasi utama.
Di lapangan, pola red flag cenderung berulang. Ketidaksesuaian KBLI atau izin yang kedaluwarsa sering ditemukan, terutama pada perusahaan yang bertumbuh cepat dan menambah lini usaha tanpa memutakhirkan perizinan. Klausul change of control dan anti-assignment pada kontrak utama kerap memicu kebutuhan waiver yang memakan waktu. Di sisi ketenagakerjaan, penggunaan PKWT yang tidak tepat dan pengelolaan alih daya yang longgar membuka eksposur kompensasi. Kekosongan persetujuan lingkungan atau dokumen yang tidak mutakhir menghambat operasional dan menurunkan valuasi.
Di ranah persaingan usaha, kepatuhan notifikasi KPPU, terutama untuk transaksi lintas batas, masih menjadi tantangan karena perhitungan ambang batas dan nexus Indonesia memerlukan kehati-hatian. Sementara itu, kepatuhan PDP kini menjadi sorotan dalam transaksi yang melibatkan basis data pelanggan skala besar; kekurangan pada dasar pemrosesan atau keamanan informasi biasanya diterjemahkan menjadi kewajiban remediasi pasca-penutupan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, Legal due diligence (LDD) yang efektif adalah kombinasi ketelitian analitis dan orientasi eksekusi. Ia memastikan bahwa pembeli memahami apa yang mereka peroleh, penjual mengetahui apa yang perlu diungkapkan dan dibenahi, serta para pihak memiliki alat kontraktual untuk membagi dan mengelola risiko secara proporsional. Dengan berpijak pada kerangka hukum Indonesia dan proses yang disiplin mulai dari scoping, pengumpulan dan verifikasi data, pengecekan regulasi, hingga penyusunan rencana remediasi, Legal due diligence (LDD) menjadi instrumen kunci untuk mengeksekusi transaksi secara aman, adil, dan berkelanjutan.
Referensi

A. Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
- Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta PHK.
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
B. Regulasi/Pedoman Otoritas dan Bursa
- POJK Nomor 17/POJK.04/2020 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha.
- Peraturan Pencatatan Bursa Efek Indonesia.
- Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian terhadap Merger, Konsolidasi, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan.
C. Jurnal/Artikel Akademik
- Anggraini, A.M.T. (2021). Kewajiban Notifikasi Pengambilalihan Aset Perusahaan dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha. Law Review (UPH). https://ojs.uph.edu/index.php/LR/article/view/3263?utm_source=chatgpt.com
- Fitriani, D. (2024). Free Float dan Likuiditas Pasar di Bursa Efek Indonesia. Repositori Universitas Brawijaya. https://repository.ub.ac.id/id/eprint/182508/6/182508-Fitriani Deuis.pdf?utm_source=chatgpt.com
- Vernanto, R.I.V. dkk. (2021). Kepastian Hukum Pra-Notifikasi dalam Merger Control. Artikel ilmiah/working paper. https://repo.jayabaya.ac.id/3415/1/Jurnal Vol.6 No.2 – Robby Isbam Vernanto.pdf?utm_source=chatgpt.com